Translate

Rabu, 10 September 2014

Di larikan hantu " & ahir nya menjadi orang bunian

Sebuah kisah nyata yang sangat
fantasis. Sebelas tahun lamanya
dia tinggal di kerajaan Bunian
dan membina kehidupan rumah
tangga di sana. Saat memutuskan
kembali pulang ke dunia nyata, dia pun menjelma
menjadi
seorang dukun yang andal….
Nek Juhai adalah seorang dukun
kampung yang sangat terkenal
kemampuan ilmunya. Penyakit atau
hal apa saja yang disebabkan oleh
gangguan non medis, Insya Allah bisa
sembuh berkat tangan dingin perempuan yang
telah uzur ini.
Kabarnya, ilmu perdukunan
diperoleh Nek Juhai dari saudara
suaminya yang berasal dari kerajaan
Bunian. Memang, semasa muda dia
telah menikah dengan bangsa bunian. Dari
pernikahannya dengan orang
Bunian ini, Nek Juhai memperoleh
empat orang anak, dua laki-laki dan
dua orang perempuan. Semua
anaknya tinggal bersama mertuanya
di kerajaan Bunian. Tidak seorangpun anaknya
mau tinggal
bersamanya. Meski demikian, pada
waktu-waktu tertentu, anak
cucunya berkumpul di rumahnya.
Kedatangan mereka itu tidak dapat
dilihat orang biasa, kecuali oleh mereka yang
memiliki kemampuan
indera ke enam. Dua bulan sebelum Nek Juhai
meninggal dunia, persisnya di akhir
tahun 2007 silam, beliau telah
mengobati penyakit salah seorang Bibi
Penulis. Penyakit yang diderita sang
Bibi sudah diobati melalui medis, tapi tidak juga
sembuh. Bahkan, beberapa
orang dukun atau paranormal yang
mengobatinya, juga tidak berhasil.
Suatu hari, ada orang yang
mengatakan pada Bibi, bahwa ada
seorang dukun yang dapat menyembuhkan
penyakit apa saja,
termasuk penyakit yang diderita
Bibiku. Orang itu memberikan
alamatnya.
Karena Bibi ingin sembuh dari
penyakit yang sudah hampir selama tujuh itu,
maka Bibi meminta Penulis
untuk menemaninya pergi berobat ke
rumah Nek Juhai. Maka berangkatlah
Penulis bersama Bibi ke rumah sang
nenek. Tidak sulit untuk menemukan
alamatnya. Semua orang di Kecamatan Babalan,
Kabupaten
Langkat, Sumut, pasti mengenalnya.
Nek Juhai tinggal di rumah yang
cukup sederhana dan masih sangat
asri lingkungannya.
Saat itu, Nek Juhai menyambut kedatangan kami
dengan sangat
ramah. Beberapa orang pasiennya
terlihat antri menunggu giliran untuk
diobati penyakitnya. Umumnya yang
berobat padanya pasien yang tidak
dapat disembuhkan melalui pengobatan medis di
rumah sakit.
Seperti penyakit yang diderita Bibiku,
yang memang diduga kuat termasuk
penyakit non medis. Hasil tes darah
di laboratorium menunjukkan Bibi
tidak menderita penyakit. Fungsi darah, lever,
ginjal, paru-paru dan
jantungnya normal. Anehnya, setiap
pukul 12 siang dan pukul 24 malam,
rasa sakit menyerang hampir di
seluruh bagian tubuhnya.
Bila malam, sebelum penyakit itu datang, Bibi
mendengar suara
lolongan anjing di kejauhan.
Suaranya sayup-sayup, hingga sang
anjing itu berada di samping rumah.
Gonggongannya membuat bibi
meraung-raung ketakutan. Perut bibi seketika
terasa seperti ditusuk ribuan
jarum, dan kepalanya seperti dipalu.
Yang tak kalah aneh, hanya bibi
seorang yang mendengar suara
lolongan anjing itu, sedangkan orang
lain yang berada di sekitarnya tidak
mendengarnya.
“Kau diguna-gunai orang, Nak?”
Kata Nek Juhai setelah memeriksa
keadaan Bibi.
“Siapa yang melakukannya, Nek?”
Tanya Bibi. Nek Juhai menggelengkan wajahnya.
Kabarnya, dia memang tidak pernah
mau menyebutkan orang yang
melakukan serangan ilmu gaib.
“Tak penting kau ketahui siapa
orangnya. Yang penting adalah kau bisa sembuh!”
Katanya, setengah
berbisik.
Nek Juhai kemudian menyiapkan
mangkok kaca berisi air putih, bunga
rampai dan jeruk purut. Setelah
membaca mantera, jeruk purut dia belah menjadi
dua bagian sama besar.
Salah satu belahan jeruk dia letakkan
di telinga kanannya. Aneh, potongan
jeruk ini sepertinya dia pergunakan
persis tak ubahnya seperti HP.
Rupanya, dia berkomunikasi dengan keluarga
suaminya yang berada di
alam bunian. Misteri hanya
mendengar kata-kata yang diucapkan
Nek Juhai saja.
Sesaat setelah selesai berhubungan
dengan alam gaib, tiba-tiba ada benda berbentuk
bundelan di bungkus kain
putih jatuh ke dalam mangkok.
Sejenak Penulis terperangah
melihatnya. Jelas sekali, bundelan
kain itu jatuh dari atas, padahal
rumah Nek Juhai atapnya terbuat dari seng dan
tidak ada orang yang
menjatuhkannya.
Perlahan, Nek Juhai membuka
bundelan itu dengan sangat berhati-
hati. Setelah terbuka, isinya boneka
terbuat dari kayu. Seluruh tubuh boneka ditusuk
dengan puluhan
jarum dari kepala hingga kaki.
“Boneka ini diumpamakan seperti
tubuhmu, Nak!” Kata Nek Juhai
menjelaskan.
“Pantaslah jika penyakit Bibi kambuh perut dan
kepalanya seperti ditusuk
seribu jarum,” gumam Penulis dalam
hati.
Nek Juhai lalu membungkus boneka
kayu itu dan membakarnya hingga
hangus. “Sebaiknya kau menginap beberapa
malam di rumah Nenek. Ada
pengobatan lanjutan yang harus kau
jalani. Besok pagi sebelum
berkumandang suara adzan Subuh,
kau harus mandi air bunga rampai,” tutur Nek
Juhai. Tentu saja Bibi dan
Penulis menyetujuinya.
Malam itu, sengaja Penulis mencarai
kesempatan untuk berbincang-bincang
dengan Nek Juhai. Untunglah, dia
punya waktu untuk bercerita karena setelah pukul
8 malam, dia memang
tidak lagi menerima pasien.
“Kata orang-orang, Nenek
bersuamikan orang bunian.
Bagaimana ceritanya Nenek bisa
bersuamikan orang bunian?” Tanya Penulis.
Mendengar pertanyaan ini,
Nek Juhai hanya tersenyum.
“Kau mau mengetahui kisah Nenek
bersuamikan orang bunian?” Nek
Juhai malah balik bertanya.
Penulis tersenyum. “Ya, itulah yang saya dengar
dari banyak orang. Saya
harap Nenek sudi menceritakannya
pada saya,” ujar Penulis.
Nek Juhai menarik nafas berat. Sorot
matanya yang teduh itu berubah
kosong, seperti menerawang jauh. Lalu, pelan-
pelan dia bertutur.
Beginilah ringkasan kisahnya…:
Saat aku baru berusia 5 tahun,
ayahku meninggal dunia. Setelah
ayah meninggal, Ibu memutuskan
tetap menjadi janda. Untuk menghidupiku, Ibu
bekerja mengambil
upahan merumput di sawah tetangga.
Memang, setelah kepergian Ayah,
hidupku semakin miskin dan penuh
dengan penderitaan. Sehari kadang
makan hanya sekali. Paman dan bibiku juga
hidupnya miskin. Untuk
menghidupi keluarganya saja sulit,
apalagi untuk membantu aku dan
Ibuku.
Setelah lama mengidap penyakit
asma, Ibuku akhirnya menghembuskan nafas
terakhirnya.
Perasaan hatiku sangat sedih, bahkan
sampai ada niat untuk bunuh diri.
Tapi untunglah hal itu tidak aku
lakukan.
Selama berhari-hari aku larut dalam kesedihan.
Kepergian Ibu rasanya
begitu cepat, Kepada siapa lagi aku
harus menggantungkan hidupku?
Suatu hari di suatu pagi, saat hujan
gerimis, aku pergi berziarah ke
kuburan Ibu. Lama aku duduk termenung di tengah
hujan gerimis.
Waktu itu, tiba-tiba terdengar suara
seorang Ibu menegurku.
“Sudahlah, jangan lagi bersedih. Jika
Ibumu tahu kau seperti ini, dia pasti
sangat bersedih juga di alam sana!” Kata ibu-ibu
itu.
Mendengar ada suara, maka aku
sangat terkejut dibuatnya.
“Ibu siapa, mengapa Ibu tiba-tiba ada
di sini?” Tanyaku merasa heran.
Maklum saja, selama ini aku belum pernah melihat
sosok perempuan
paruh baya ini. Aku begitu terkesima
melihat kecantikan wajahnya. Di
desaku sepertinya tidak ada
perempuan secantik dia.
“Nama Ibu Habibah,” sahutnya dengan ramah.
Dia lalu tersenyum sambil
memandang wajahku. Sorot matanya
tajam menyejukan perasaan hatiku.
Dari busana yang dipakainya Ibu
Habibah, jelas isteri orang kaya. Ini terlihat dari
perhiasan emas yang
menghiasi leher dan pergelangan
tangannya, serta cincin dijari
manisnya. Aku kian terkagum-
kagum melihatnya.
“Semua yang hidup akan merasakan mati.
Beberapa hari lalu Ibumu
meninggal dunia, suatu saat kita juga
akan mengalami peristiwa yang
sama. Kau harus tabah dan ikhlas
menerimanya,” kata Ibu Habibah
menasehatiku. “Tapi sekarang aku udah tidak
punya
siapa-siapa lagi. Hidupku sebatang
kara di dunia ini. Rasanya lebih baik
aku mati saja,” jawabku berkeluh
kesah. Air mataku seketika kembali
deras mengalir. “Siapa bilang kau tidak punya
siapa-
siapa. Jika kau mau kau bisa tinggal
bersama Ibu!” Katanya sambil
mengusap rambutku. Hangat
kurasakan menjalar ke sekujur
tubuhku. Mendengar Ibu Habibah berkata
demikian, aku merasa tidak percaya.
Apakah aku sedang bermimpi?
“Benarkah Ibu mau memberiku
tumpangan hidup?” Tanyaku sambil
menyusut air mata. Ibu Habibah tersenyum
menyejukan.
“Percayalah, Ibu pasti akan
menganggapmu seperti anak Ibu
sendiri. Mari ikut Ibu!” Ajaknya.
Dia lalu menuntunku keluar dari
areal kuburan. Di depan tanah pemakaman sudah
menunggu mobil sedan mewah. Bagai
terhipnotis, aku mengikuti saja
ajakan Ibu Habibah, yang menyetir
sendiri mobil sedannya.
Sekitar seperempat jam mobil yang dikemudikan
Ibu Habibah
meninggalkan desaku, ada keanehan
yang kurasakan. Semula di kiri kanan
jalan aku hanya melihat hamparan
persaawhan dan rumah-rumah
gedek dan semi permanen milik penduduk. Tapi
pemandangan yang
kulihat kemudian bertukar menjadi
perumahan mewah dan jalan
beraspal yang sangat licin. Mobil-
mobil mewah hilir mudik di jalan
raya. Penduduk yang tinggal di sepanjang jalan
sepertinya semua
keluarga kaya. Mereka tinggal di
perumahan elite lengkap dengan
fasilitas kemegahannya. Ada kolam
renang dan halaman yang asri.
“Bu, kita sekarang berada di mana?” Tanyaku
terheran-heran. Maklum
saja, selama ini aku memang tidak
pernah melihat rumah-rumah
mewah seperti yang ada di depan
mataku.
“Juhai, ketahuilah, kau kini berada di alam gaib.
Bangsamu menyebut kami
orang bunian,” kata Ibu Habibah
menjelaskan.
Mendengar penjelasan Ibu Habibah,
jantungku berdebar-debar ketakutan.
“Juhai, jangan cemas dan merasa takut. Ibu akan
melindungimu dan
menjaga keselamatanmu. Ibu
beragama Islam dan sudah
berulangkali pergi menunaikan ibadah
Haji ke tanah suci Mekkah. Kita ini
sesungguhnya bersaudara dan persaudaraan
sesama muslim itu
digambarkan oleh baginda Rasulullah
SAW seperti bangunan tubuh kita.
Jika ada salah satu anggota tubuh kita
sakit, maka anggota tubuh yang lain
juga ikut merasakannya,” jawab Ibu Habibah
dengan tutur kata lemah
lembut. Dia seolah-olah dapat
membaca kegelisahan hatiku.
Mendengar Ibu Habibah berkata
begitu, perasaan hatiku menjadi
tenang kembali. Mobil pun terus bergerak di atas
jalan yang amat licin. Tak berapa
lama kemudian, mobil berbelok ke
sebuah rumah paling mewah di
antara perumahan yang berada di
sekitarnya. “Apakah ini rumah Ibu Habibah?”
Bisik hatiku, heran dan kagum.
Halaman rumah itu sangat luas dan
tertata rapih dengan bunga-bunga
yang indah. Ada juga kolam renang
yang berair sangat jernih. Menurut hematku, rumah
dinas gubernur saja
yang pernah kulihat tidak sebagus dan
semewah rumah Ibu Habibah.
“Kita sudah sampai. Ini rumah Ibu!”
Kata ibu Habibah. Aku bengong seperti
seekor rusa masuk kampung. Ibu Habibah lalu
mengajakku turun
dan menuntunku masuk ke beranda
rumah. Di depan pintu, seorang
pemuda menyambut kedatangan
kami.
“Ibu membawa siapa?” Tanya pemuda itu yang
sepertinya adalah
putera Ibu Habibah. Wajahnya sangat
tampan. Di kampungku pasti tidak
ada remaja setampan dia.
“Dia bernama Juhai. Ibu temukan dia
menangis di pusara kedua orangtuanya,” jawabnya.
Lalu
sambil melirik ke arahku, Ibu Habibah
menyambung, “Juhai, ini anak Ibu.
Namanya Haikal!”
Aku dan Haikal kemudian saling
berjabat tangan. Ketika itu muncul juga seorang
anak berusia 10 yang
kemudian kuketahui bernama Haidar.
Dia adiknya Haikal.
Saat masuk ke dalam rumah, kulihat
ruang tamu rumah Ibu Habibah
sungguh megah. Semua perabotan rumahtangga di
ruangan itu terbuat
dari kayu pilihan dan berukir indah.
Aku terkagum-kagum melihatnya.
Ibu Habibah lalu mengajakku ke
kamar yang diperuntukkan buatku.
Interior dalam kamar ini tak ubahnya seperti kamar
tidur puteri raja.
Ranjangnya terbuat dari kayu jati
dan dilapisi emas, meja rias berukir
sangat indah dan bingkai kacanya
dilapisi emas. Dalam kamar tidur ini
terdapat juga toilet yang harum dan bersih.
Aku juga diperlihatkan baju yang
disimpan dalam lemari, yang
sepertinya juga telah dipersiapkan
buatku. Aku terbelalak melihat baju-
baju yang semuanya baru dan terbuat dari sutera
itu.
Setelah aku berganti pakaian dan tak
lagi terlihat seperti gadis kampung,
namun telah menjelma bak seorang
puteri, aku diminta menghadap di
ruang keluarga. Di ruang ini Ibu Habibah duduk
bersama seluruh
anggota keluarganya. Disebelahnya
duduk Pak Abu Bakar, suaminya.
“Ibu sudah bercerita pada Bapak
tentang dirimu. Bapak sangat terharu
mendengarnya. Tinggallah bersama kami di sini
beberapa waktu yang kau
kehendaki. Kami akan mengajarimu
ilmu pengobatan berbagai penyakit. Di
istana ada beberapa orang tabib. Nanti
Bapak akan meminta mereka
mengajarimu ilmu pengobatan berbagai penyakit.
Ilmu pengobatan itu penting bagimu
sebagai bekal hidupmu di duniamu
nanti, jika kau memutuskan untuk
tinggal di sana.” Papar Ibu Habibah.
“Bapak mohon tinggallah bersama kami beberapa
tahun di sini. Bapak
dan Ibu telah sepakat mengangkatmu
sebagai anak angkat kami. Kami
berdua akan menyayangimu seperti
menyayangi anak kandung kami
sendiri. Kebetulan kami memang tidak dikarunai
anak perempuan.
Besok kami akan mengadakan acara
pengangkatanmu sebagai anak angkat
kami agar warga di sini
mengetahuinya,” tambah Pak Abu
Bakar suami ibu Habibah. Pak Abu Bakar ini
ternyata salah
seorang menteri di kerajaan Bunian.
Setiap hari, dia keluar masuk istana
raja. Ibu Habibah juga masih kerabat
raja. Ketika aku dinobatkan sebagai
anak angkat, semua pembesar istana datang
menghadirinya, termasuk
juga rakyat jelata. Yang sangat
membanggakan perasaanku, raja dan
permaisurinya turut datang
memberikan ucapan selamat.
Pak Abu Bakar mengadakan pesta rakyat,
berlangsung selama tiga hari
tiga malam. Aku benar-benar merasa
menjadi puteri di negeri kayangan.
Aku dikenalkan pada kelaurga besar
Pak Abu Bakar dan Ibu Habibah.
Mereka semuanya baik-baik dan sangat ramah.
Begitulah! Hari-hari kulalui dengan
tinggal di dunia orang Bunian.
Kehidupan disana seperti kehidupan
kita di dunia ini. Hanya, di dunia
orang Bunian, matahari selalu bersinar cerah, dan
udara dingin
sepanjang siang dan malam. Disana
tidak ada polusi udara, karena
pepohonan tumbur subur. Lingkungan
hidup tertata rapi.
Tinggal bersama keluarga Pak Abu Bakar, selain
bermain, menikmati
masa remaja bersama Haikal dan
gadis-gadis sebayaku, pagi hari aku
juga belajar ilmu pengobatan dari
tabib istana yang datang ke rumah.
Di sana juga terdapat tempat rekreasi yang berada
di luar kota. Aku
bersama Haikal sering mengunjungi
tempat rekreasi tersebut, hingga
akhirnya tumbuh benih cinta di hati
kami berdua. Rupanya, Pak Abu
Bakar dan Ibu Habibah mengetahui hal ini. Sampai
suatu malam, aku dan
Haikal dipanggil untuk menghadap
mereka. Duduk di hadapan Ibu
Habibah dan Pak Abu Bakar, aku
menundukkan wajah sebagai orang
yang bersalah. Denyut jantungku berdebar-debar
tidak beraturan.
“Haikal, Ayah ingin bertanya
kepadamu. Mohon dijawab dengan
jujur. Apakah kau mencintai
Juhai?” Tanya Pak Abu Bakar tiba-
tiba. “Benar, Ayah! Haikal sangat
mencintainya,” jawab Haikal.
“Bagaimana denganmu Juhai?
Apakah kau mencintai Haikal?”
Tanya Ibu Habibah. Aku hanya
mengangguk malu-malu. “Karena kalian sudah
saling
mencintai, Ayah dan Ibu akan
menikahkan kalian besok pagi,” kata
Pak Abu Bakar memutuskan.
Aku terkejut mendengar keputusan
Pak Abu Bakar. “Mengapa pernikahan itu
dilangsungkan mendadak?” Bisik
hatiku.
Pernikahan itu benar-benar terjadi.
Saat aku membuka jendela kamar, di
halaman rumah sudah siap
perlengkapan pesta. Bahkan, kamar tidurku sudah
dihias seperti laiknya
kamar pengantin. “Kapan mereka
melakukannya?” Bisik hatiku
terheran-heran.
Singkat cerita, akad nikah telah siap.
Saat itu aku teringat pada almarhum Ayah dan Ibu.
Aku menangis terharu
dan bahagia, lalu memeluk Ibu
Habibah yang sebentar lagi akan
menjadi mertuaku.
Resepsi pernikahan berlangsung
selama tujuh hari tujuh malam. Raja dan
permaisuri kerajaan
Bunian datang bersama semua
pembesar istana. Mereka
mengucapkan selamat berbahagia dan
mendoakan agar perkawinan kami
langgeng. Rakyat di kerajaan Bunian larut dalam
kegembiraan menikmati
makanan dan hiburan selama tujuh
hari tujuh malam.
Demikianlah kisah yang kujalani di
negeri Bunian. Setelah sepuluh tahun
membina rumah tangga, aku dikarunai dua orang
putera dan dua
orang puteri. Hingga, suatu malam,
nenek bermimpi bertemu dengan
almarhum ayah dan ibu. Dalam
mimpi ini mereka menangis karena
kuburnya tidak pernah aku ziarahi. Aku sampai
menangis dan berjanji
pada mereka akan datang berziarah.
“Juhai, kau mimpi apa?” Tanya Mas
Haikal. Kuceritakan mimpi yang
barusan kualami.
“Besok kita pergi berziarah. Bawa anak-anak,” kata
suamiku.
Mendengar suami berkata begitu, aku
merasa bahagia.
Ketika kami berziarah di kuburan
kedua orangtua, ternyata ada
beberapa warga melihat kehadiranku. Mereka tidak
percaya. Tapi setelah
kuyakinkan, mereka baru percaya
bahwa aku adalah Juhai. Rupanya,
aku telah menghilang selama 11 tahun
lebih.
Berita kepulanganku setelah 11 tahun menghilang
dari desa, menghebohkan
warga. Bibiku, anak-anak
keponakanku, semua menangis dan
menyambutku dengan penuh haru.
Mereka sampai mengadakan kenduri
selamatan dan meminta agar aku tinggal di desa.
Berat rasanya untuk
menolak permintaan mereka, juga
berat meninggalkan suami dan anak-
anak yang tinggal di alam berbeda.
“Keluargamu memintamu agar kau
tinggal bersama mereka. Sebaiknya kau penuhi
keinginan mereka,” kata
suamiku menjelang tidur di dalam
kamar rumah Bibi. Tentu saja tak
ada seorang pun yang bisa melihat
kehadiran suami dan anak-anakku
kecuali aku sendiri. “Bagaimana dengan dirimu dan
anak-anak kita?” Tanyaku.
“Anak-anak biarlah tinggal bersama
neneknya. Karena kehidupan mereka
ada di sana bukan disini. Sedangkan
aku bisa setiap saat berada di sisimu, dan kau bisa
datang menjenguk
anak-anak kita setiap saat,” jawab
suamiku.
Tapi aku tidak dapat mengambil
keputusan saat itu. Kepada keluarga
di desa, aku bilang akan bermusyawarah dahulu
dengan
suami dan mertua. Semoga mereka
mengizinkanku tinggal di desa
kelahiranku.
Syukur Alhamdulillah, 11 tahun
setelah aku pergi meninggalkan desa, kehidupan
ekonomi Paman dan Bibi
membaik. Mereka sudah bisa
membangun rumah gedung.
Keponakanku juga bisa sekolah
sampai meraih gelar sarjana. Tak
hanya itu, jalan-jalan dikampungku juga sudah
dibangun aspal. Bahkan,
Paman juga berjanji akan
membuatkan rumah buatku di tanah
pusaka peninggalan almarhum
ayahku jika memang aku tinggal
menetap di desa\. Ketika kuutarakan niat kembali
ke
desa kelahiranku, Ayah dan Ibu
mertuaku merestuinya.
“Jika itu sudah menjadi
keputusanmu dan suami
merestuinya, kami tidak bisa bilang apa-apa
kecuali mendukung
rencanamu. Di desamu kau bisa
mengobati berbagai penyakit yang
diderita warga disana,” kata Ayah
mertuaku.
“Terima kasih, Pak!” Jawabku sambil sujud di
kakinya.
Setelah berpamitan, aku diantar mobil
sedan yang dikemudikan suamiku.
Ya, aku memilih pulang ke kampung
halamanku yang pernah aku
tinggalkan belasan tahun lamanya.
Share this:
Twitter Facebook Google
MENJADI DUKUN SETELAH 11 TAHUN
TINGGAL DI KERJAAN BUNIAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar